Kelapa sawit berdiri di tengah paradoks: di satu sisi ia komoditas strategis Indonesia—penyumbang devisa dan penopang ekonomi jutaan keluarga—di sisi lain ia diragukan melalui regulasi global seperti EUDR Uni Eropa dan kebijakan NDPE korporasi multinasional. Di balik kontroversi itu ada fakta tak terbantahkan: lebih dari 41 persen kebun sawit nasional dikelola petani kecil—pilar ekonomi desa sekaligus pihak paling rentan terhadap fluktuasi harga, regulasi asing, dan akses pasar yang timpang. Dalam tulisan ini, Sawit Berkelanjutan kami maknai sebagai kepatuhan ISPO sebagai baseline nasional, ditambah penguatan NDPE, kesiapan EUDR, serta rancangan kontrak langsung petani–pembeli berbasis traceability yang kredibel. Bagi kami di Buana Nusa Lestari, sawit bukan sekadar minyak nabati, melainkan panggung kedaulatan dan geopolitik. Karena itu kami mendorong kepatuhan ISPO dan membangun sistem traceability bersama petani dampingan. Kepatuhan dan keterlacakan tidak boleh dipandang sebagai syarat administratif belaka, melainkan gerakan bersama yang menyatukan energi kolektif—meski penuh tantangan dan keterbatasan.
Seperti roket yang hendak diluncurkan, sawit Indonesia memiliki bahan bakar melimpah, mesin tersedia, dan orbit yang jelas: pasar dunia. Namun kendali navigasinya masih rapuh. Roket itu bisa melesat atau justru meledak di landasan jika koordinasi keliru. Dalam cermin inilah kita melihat: sawit bukan hanya komoditas; ia refleksi kedaulatan—baik bagi petani maupun bagi bangsa.
Untuk membaca posisi strategis sawit, kita tarik dari tiga lensa. Pertama, Buku politik hukum pangan(sebuah rekontruksi dari sebuah ketahanan pangan ke Kedaulatan pangan) Oleh Rachmad Safa’at,S.H., M.si, yang membedakan ketahanan pangan (sebatas ketersediaan) dari kedaulatan pangan (kendali bangsa atas sistem pangan). Kedua, Buku Mission Economy: A Moonshot Guide to Changing Capitalism (Mazzucato) yang menunjukkan bagaimana negara mengonsolidasikan riset, kebijakan, dan sumber daya untuk terobosan bersama. Ketiga, literatur global value chain dan geopolitik—yang mengingatkan bahwa sawit bukan semata agronomi, melainkan juga instrumen politik dagang. Dengan demikian, keberlanjutan sawit tak bisa dilihat dari sudut lingkungan saja; ia juga arena kedaulatan ekonomi dan posisi tawar bangsa.

Secara hukum, ISPO adalah fondasi Sawit Berkelanjutan—pijakan yang membuat standar keberlanjutan berfungsi sebagai daya saing, bukan sekadar kepatuhan. Indonesia telah membangun rangkanya: ISPO sebagai sistem sertifikasi nasional yang wajib, diperkuat oleh inisiatif yurisdiksi berkelanjutan di daerah (misalnya Kabupaten Siak dengan inisiatif Siak Hijau) yang berfungsi sebagai “laboratorium kebijakan” lintas pihak. Di tingkat tapak, petani kecil melakukan inovasi seperti integrasi kopi Liberika–sawit di lahan gambut dangkal; praktik ini menunjukkan bahwa diversifikasi ekonomi dan keberlanjutan bisa berjalan beriringan, selama ada pendampingan, pembiayaan yang tepat, dan insentif pasar yang selaras.
Dari sini menjadi jelas: ISPO bukan sekadar sertifikasi teknis; ia adalah politik dagang—alat untuk menggeser Indonesia dari sekadar rule‑taker menjadi rule‑maker dalam tata kelola sawit global. Dalam konteks EUDR, jendela waktu penerapan menjadi ruang akselerasi: percepatan pemetaan kebun, due diligence, dan integrasi data rantai pasok yang kompatibel dengan tuntutan global tanpa mengorbankan inklusi petani kecil.
Kuncinya adalah petani kecil. Dengan pangsa lahan sekitar 40 persen dari luas kebun kelapa sawit nasional, mereka bukan objek kebijakan melainkan subjek perubahan. Jika kontrak langsung petani–pembeli dibangun di atas traceability yang kredibel, rantai distribusi dapat dipersingkat dan relasi kuasa bergeser. Petani tak lagi pemasok anonim, tetapi mitra strategis dalam rantai pasok global. Di tataran domestik, implikasinya menyentuh kedaulatan pangan dan energi: dari minyak goreng hingga biodiesel, stabilitas pasokan dan mutu bergantung pada keberhasilan integrasi standar keberlanjutan di hulu—yang infrastruktur sosial‑teknisnya (legalitas lahan, organisasi petani, pembiayaan, layanan penyuluhan) harus diperkuat secara simultan.
Pada akhirnya, sawit berkelanjutan adalah Ide Besar . Ini bukan hanya soal ekspor dan devisa, melainkan tentang bagaimana bangsa ini menegaskan kedaulatannya di panggung global. Dari desa‑desa gambut hingga forum perdagangan dunia; dari harga pupuk yang mencekik hingga perundingan diplomatik—semuanya terhubung oleh tandan buah segar yang sama. Indonesia adalah matahari yang belum penuh terbit: cahayanya sudah menyinari sebagian, namun masih ada lembah yang gelap. “Roket” bernama “sawit berkelanjutan”—dengan ISPO sebagai tulang punggungnya—bisa membantu cahaya itu menjangkau lebih merata. Seperti semua gerakan nasional yang sehat, ia menuntut keberanian, konsistensi, dan keyakinan bersama—dengan kompas yang jelas: kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan petani. Kami di Buana Nusa Lestari percaya: sawit berkelanjutan bukan beban; ia bendera yang layak kita kibarkan di langit global—dengan jejak yang lestari, rantai pasok yang terlacak, dan kesejahteraan yang adil dari hulu ke hilir.
Penutup
Pada akhirnya, di Buana Nusa Lestari kami memegang satu mimpi yang konkret: merancang jalan agar petani kecil kelapa sawit dapat berkontrak langsung dengan pembeli—memangkas rantai perantara, menguatkan posisi tawar, dan memastikan harga yang adil. Fondasinya jelas: kepatuhan ISPO sebagai tulang punggung, sistem traceability yang kredibel, kelembagaan petani yang solid, serta skema pembiayaan dan pendampingan yang berpihak. Dengan fondasi ini, kontrak langsung bukan cita‑cita abstrak, melainkan mekanisme perubahan yang mengalir dari kebun ke pasar—mengembalikan nilai ke desa, memperkuat kedaulatan pangan‑energi, dan menegaskan Indonesia sebagai rule‑maker dalam tata kelola sawit global. Inilah Ide Besar yang kami pilih: kerja sunyi yang terukur, langkah‑langkah kecil yang konsisten, dan kolaborasi lintas pihak yang jujur. Ketika setiap tandan terlacak asal‑usulnya, setiap rumah tangga petani naik kelas, dan setiap hamparan—terutama gambut—terjaga, kita tahu mimpi itu tengah mewujud. Sawit berkelanjutan bukan sekadar beban kepatuhan; ia adalah bendera yang pantas kita kibarkan—adil bagi petani, lestari bagi alam, tangguh bagi bangsa.
Bogor; 27 agustus 2025
Subrantas





