(Catatan kecil di atas Kanal Gambut Tumang dan Merempan)
Sumber Foto: https://bgnnews.co.id/detail/3052/lahan-eks-pt-ssl-berpotensi-dihutankan-kembali
Siak adalah meja panjang tempat peta dan jejak kaki sering berselisih diam. Di atasnya tersusun mozaik perizinan—HGU dan konsesi HTI—yang lahir dari tahun dan rezim berbeda. Catatan pemerintah dan publikasi independen sepakat pada satu hal: izin-izin itu nyata dan saling berdekatan; yang berbeda hanyalah detail jumlah dan luasan pada tiap terbitan. Kita mencatat perbedaan itu, bukan untuk meragukan siapa pun, melainkan untuk menjaga kejujuran di awal. Angka memberi ukuran, tetapi hari-hari warga dan ritme kerja di kebun memberi makna. Ketika peta berkata “selesai” dan lapangan berbisik “belum”, kita tahu ada sesuatu yang harus disambung.
SK Bupati Siak tentang Tim Fasilitasi Penyelesaian Konflik membuka pintu untuk duduk bersama. Pintu, tentu saja, tidak berjalan sendiri; yang berjalan adalah kita: hadir dulu, dengar lebih lama, tutup pertemuan dengan keputusan kecil yang bisa dikerjakan. Bukan daftar perintah, melainkan cara bernapas. Dari sini tiga hal mulai bekerja—batas yang menjadi kesepakatan, relasi yang berani dipulihkan, dan aliran yang tertib tanpa menghakimi—dengan satu kompas: setia pada fakta, hemat pada prasangka.
Garis bukan kebenaran; garis adalah janji yang dipegang bersama.
Kita mulai dari batas. Banyak konflik tidak lahir karena peta tak ada, melainkan karena peta tak menyapa kaki. Bayangkan balai kampung menjelang senja: peta dicetak besar, kanal disebut satu-satu, jalan tanah ditandai pelan, dan titik-titik temu gelang disepakati di hadapan saksi. Di akhir pertemuan, satu berita acara ditandatangani—bukan untuk memenangkan siapa pun, melainkan untuk menghentikan saling bantah yang melelahkan. Di situ kebijakan berubah menjadi kebiasaan: satu peta kerja, satu cerita resmi, satu ruang tindak lanjut—entah itu penyesuaian rencana kerja, pengaturan akses kelola, atau penguatan dokumen pada waktunya. Ketika batas menjadi kesepakatan, ketegangan kehilangan bahan bakar.
Kepastian yang adil lebih menenangkan daripada kemenangan yang rapuh.
Lalu relasi. Ada perkara yang tidak sembuh oleh garis karena yang retak adalah percaya. Forum restoratif berdiri untuk itu. Bukan mencari pihak paling salah, melainkan kemungkinan paling masuk akal untuk dijalankan bersama. Di ruangan itu, warga, pemerintah, dan perusahaan duduk setara: opsi muncul apa adanya—kemitraan kelola di petak tertentu, agroforestri di tepi batas, kompensasi non-litigasi dengan bentuk dan tenggat yang jelas. Alurnya sederhana dan bisa diaudit: ada pencatatan, ada minuta, ada tindak lanjut yang diperiksa pada pertemuan berikutnya. Mereka yang datang dengan kekerasan dititipkan pada jalur penegakan hukum agar percakapan tetap aman bagi yang benar-benar hidup di sana. Kita tidak mengubah masa lalu; kita menyusun masa depan yang sanggup dijalankan.
Kepercayaan bukan hadiah; ia hasil kerja yang diulang.
Terakhir, aliran. Konflik sering kembali lewat pintu belakang: bahan baku bergerak lebih cepat daripada ingatan kita. Karena itu, ketertelusuran—Know-Your-Supplier—perlu hadir di dua gerbang sekaligus: pabrik kelapa sawit untuk tandan buah segar, pabrik pulp/kertas untuk kayu atau fiber HTI. Prinsipnya sederhana dan faktual: siapa memasok, dari mana asalnya, dan apa status ruang ketika panen dan angkut terjadi. Pada sawit, daftar pemasok yang terdaftar dan terpetakan membuat transaksi berdiri di tanah yang terang. Pada HTI, rujukan blok/kompartemen yang sah dan penatausahaan hasil hutan yang tertib menjadi pagar yang bisa diperiksa. Bukan hukuman, melainkan sinyal pasar: rapi bukan beban tambahan, rapi adalah tiket untuk terus berusaha. Dan bila sebuah poligon sedang dimediasi, jeda pembelian sementara menjaga percakapan tetap dingin.
Rantai pasok yang jernih adalah doa paling praktis.
Kita berjalan dengan disiplin data dan kejujuran epistemik: membedakan apa yang pasti, apa yang dugaan, dan apa yang masih diperdebatkan. Rujukan dicatat saat diperlukan; celah diakui ketika terlihat. Struktur memberi arah, gambaran lapangan memberi wajah, kalimat kunci menancapkan maksud, irama menggerakkan, dan larik penutup menyisakan gema—namun fakta tetap memegang kemudi. Jika angka bertolak belakang, kita menandainya sebagai perbedaan dan menjelaskan sebabnya; jika peta berselisih, kita memilih peta kerja bersama sebagai jembatan, bukan “versi yang menang” sebagai tembok..
Retorika yang kita pilih pun menolak kemarahan yang mudah. Kita mengajak tanpa menggurui. Kita menghindari daftar “harus”, karena pengalaman mengajarkan bahwa kebijakan yang memerintah lebih cepat lelah daripada kebiasaan yang dirawat. Kita menukarnya dengan ritme yang bisa diulang: pertemuan yang ditutup dokumen, keputusan yang ditutup tindakan, tindakan yang ditutup laporan pendek yang bisa diperiksa bersama. Ukuran keberhasilan tidak perlu megah: semakin banyak peta yang disahkan bersama, semakin sering mediasi yang berujung kesepakatan tertulis, semakin jelas daftar pemasok yang diterbitkan dengan tanggung jawab. Itu saja sudah cukup untuk menandai arah.
Dan bila ada yang bertanya—apakah ini berpihak?—jawaban yang jujur selalu kembali ke data. Kita berpihak pada hal yang dapat dibuktikan, pada prosedur yang dapat diperiksa, pada martabat yang tidak boleh dikurangi siapa pun. Kita menolak menyederhanakan konflik menjadi dua warna, karena kehidupan di Hamparan yang bertaut jarang pernah hitam-putih. Kita menjaga agar bahasa tidak mendahului bukti dan agar bukti tidak kehilangan bahasa.
Begitulah cara kita menyambung yang terputus: peta yang menyapa kaki, dialog yang menyapa hati, keputusan yang menyapa akal sehat. SK Bupati Siak telah membuka pintu; sisanya adalah langkah-langkah kecil yang konsisten. Tidak ada janji besar di sini—hanya kejujuran yang tenang, agar yang tinggal di Siak bisa hidup tanpa rasa dikejar peta yang saling bantah, dan yang berusaha di Siak bisa bekerja tanpa harus takut pada data yang berubah nada. Karena pada akhirnya, yang kita cari bukan pemenang, melainkan keseharian yang kembali berjalan.
Di gambut yang menyimpan air, kita belajar menahan api.
Di meja yang dulu berisik, kita belajar menutup pertemuan dengan sunyi yang sepakat.





