Remedy tanpa Akuntabilitas adalah Ilusi – Dari Toba ke Siak, Sebuah Krisis Akuntabilitas

Ketika APRIL menyebut penangguhan Nota Kesepahaman (MoU) oleh FSC sebagai langkah “prematur”, mereka bukan sekadar berdebat soal jadwal; mereka sedang memindahkan sorotan dari akuntabilitas atas dampak ke ritual prosedur. Melalui kanal resmi mereka, APRIL menilai keputusan itu “pre-empts the conduct and findings of this independent investigation,” lalu menegaskan satu kalimat yang terdengar menggugah: “Remedy delayed is remedy denied.” Kalimat itu tajam, tetapi ujungnya mengarah ke cermin: jika keterlambatan dianggap penyangkalan pemulihan, maka pertanyaannya adalah apa yang menunda pemulihan sejak awal—dan siapa yang bertanggung jawab membuka simpulnya. (APRIL Dialog)

FSC, pada 26 September 2025, menangguhkan MoU dan menyatakan bahwa pencabutan penangguhan dimungkinkan jika investigasi independen mampu mengurai akar konflik dan diikuti tindakan korektif yang transparan, sejalan dengan Remedy Framework. Kerangka ini bukan kosmetik reputasi; ia adalah pagar etis agar “pemulihan” bukan sekadar kata benda, melainkan proses yang dapat diaudit. Dengan begitu, keberatan APRIL tentang “prematur” mesti diuji terhadap standar publik: adakah jaminan bahwa sistem pencegahan, deteksi dini, dan penanganan konflik di dalam grup benar-benar bekerja—sebelum meminta kepercayaan untuk melaju lagi? (fsc.org)

Realitas di lapangan menolak dikurung dalam diksi. Di Sumatera Utara, pada 22 September 2025, benturan keras melibatkan pekerja/keamanan TPL dan komunitas adat di sekitar Sihaporas, Danau Toba. Laporan media menyebut puluhan orang terluka. Peristiwa seperti ini tak lahir dari ruang hampa; ia tumbuh dari akumulasi keluhan, mediasi yang macet, dan mekanisme komplain yang tidak dipercaya. Menyebutnya “insiden” mungkin tepat secara gramatikal, tetapi di tingkat tata kelola, yang tampak adalah gejala kegagalan sistem. (The Jakarta Post)

Dua bulan sebelumnya, bara yang sama menyala di Riau. Pada 11 Juni 2025, amuk massa di areal PT Seraya Sumber Lestari (SSL) di Siak membakar aset dan memicu penetapan belasan tersangka. Kepolisian daerah dan berbagai media lokal merinci kronologi, kerusakan, dan proses hukum yang menyusul. Bahkan jika ada “aktor intelektual” yang mengambil kesempatan, mereka menari di panggung yang sejak lama disusun oleh sengketa agraria yang tak kunjung selesai. Menggugat gejala tanpa membedah panggungnya adalah cara termudah untuk menunda jawaban yang sebenarnya dituntut sejak lama. (Tribratanews Riau Polri)

Di sisi lain, hubungan APRIL dengan kerangka remedy bukan kabar kemarin sore. Sejak 2023, grup ini memasuki proses pemulihan—lengkap dengan penilaian dasar oleh pihak independen—sebuah isyarat bahwa persoalan yang lebih struktural memang sedang dihadapi. Karena itu, memusatkan polemik pada “prematur/tidaknya” langkah FSC justru berisiko mengaburkan premis yang runtuh: jika remedy adalah jembatan, maka pondasi integritas—pengakuan atas dampak, verifikasi independen, dan jaminan ketidakberulangan—harus terlebih dahulu dipadatkan. (Mongabay)

Di titik inilah frasa APRIL—“Remedy delayed is remedy denied”—berbalik menuntut konsistensi. Keterlambatan paling berbahaya bukan berasal dari keputusan penegak standar, melainkan dari kesiapan korporasi untuk membongkar kabel kusut di balik dinding: siapa bertanggung jawab ketika pencegahan gagal, bagaimana early warning bekerja, kapan mediasi berbasis hak dimulai, dan sejauh mana dewan direksi mengikat bonus pada penurunan insiden serta percepatan penyelesaian. Tanpa penataan ulang seperti itu, investigasi independen—betapa pun niatnya baik—mudah berubah menjadi laporan kepatuhan centang-kotak.

Karena itu opsi yang jujur—dan satu-satunya yang tahan uji—adalah berhenti memperdebatkan asap dan mulai memadamkan api. Publik bisa memahami jeda prosedural jika jeda itu dipakai membangun ulang arsitektur akuntabilitas: mandat investigasi yang diumumkan sejak awal, akses data yang memadai, kewajiban memublikasikan temuan serta management response, perlindungan HAM yang bisa diaudit, registri konflik yang terbuka, dan garis akuntabilitas corporate group yang tidak membiarkan “insiden” tercecer sebagai kesalahan lokal. Ketika prasyarat ini dipenuhi, pintu pemulihan tetap terbuka sebagaimana ditegaskan FSC; jika tidak, sinisme publik akan membaca setiap pernyataan sebagai upaya memperhalus jeda. (fsc.org)

Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bagi APRIL bukan sekadar logo di sudut kemasan, melainkan lisensi sosial untuk beroperasi—modal tak berwujud yang, sekali retak, meneteskan ongkos ke setiap hektare, setiap hari operasi, dan setiap dialog yang terpaksa diulang. Jika benar “pemulihan yang tertunda adalah penyangkalan,” maka keberanian yang layak dicatat sejarah bukanlah menyebut langkah orang lain “prematur”, melainkan mengakui kegagalan, memperbaiki sistem, dan menghadap publik dengan bukti yang dapat diuji ulang. Saat itulah kalimat yang tadi tajam—“Remedy delayed is remedy denied”—akhirnya punya nyawa. (remedy.aprilasia.com)

 

Penulis: Subrantas

Bagikan artikel ini

Facebook
Twitter
Linkdin
WhatsApp

Artikel lainnya